Di antara rimbun pepohonan dan aliran sungai yang berliku, tersembunyi sebuah dunia yang kaya namun jarang terjamah. Bulangan Barat, wilayah yang terletak di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, selama ini mungkin hanya dikenal sebagai kawasan agraris dan perikanan tradisional. Namun, siapa sangka, di balik bentangan hutan dan rawa-rawanya, tersimpan potensi keanekaragaman hayati yang begitu mengagumkan dan hingga kini terus diteliti.
Bukan tanpa alasan para peneliti dari berbagai universitas dan lembaga swadaya masyarakat tertarik menelusuri wilayah ini. Bulangan Barat https://bulanganbarat.com/ tidak hanya menjadi habitat alami bagi spesies langka, tapi juga menyimpan petunjuk-petunjuk penting tentang hubungan antara manusia dan alam yang berlangsung ratusan tahun tanpa tercatat dalam buku sejarah.
Mengapa Bulangan Barat?
Pertanyaan ini muncul di awal penelitian: apa istimewanya Bulangan Barat dibanding daerah lain di Kalimantan? Jawabannya tidak datang dari peta atau satelit, tetapi dari cerita masyarakat adat.
Warga lokal menyebut kawasan hutan tertentu sebagai “hutan keramat”, bukan karena mitos semata, melainkan karena secara turun-temurun mereka menyadari bahwa kawasan itu tidak boleh sembarangan ditebang atau dirusak. Dari cerita rakyat inilah, para peneliti menemukan petunjuk pertama: hutan ini bukan hanya sakral secara budaya, tapi juga biologis.
Kawasan hutan di sekitar Sungai Salimbatu dan lembah pegunungan di belakang Desa Long Beluah menjadi titik awal eksplorasi. Dalam radius yang relatif kecil, tim peneliti menemukan ratusan spesies flora dan fauna, termasuk beberapa yang belum teridentifikasi secara ilmiah.
Temuan yang Mengguncang Peta Keanekaragaman Hayati
Dalam penelitian tahap pertama yang berlangsung selama sembilan bulan, ditemukan:
- 42 spesies burung yang aktif di pagi dan sore hari, termasuk satu spesies burung kecil dengan warna bulu kemerahan yang tidak terdapat dalam basis data nasional.
- 19 spesies mamalia, termasuk kukang Kalimantan dan beberapa jenis kelelawar buah yang memiliki peran penting dalam penyerbukan hutan.
- 110 jenis tumbuhan liar, mulai dari pohon berkayu keras hingga tanaman obat yang masih digunakan oleh dukun kampung.
Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah keberadaan sejenis anggrek liar beraroma cengkeh yang tumbuh di tebing batu kapur, hanya di satu lokasi sempit. Tanaman ini belum memiliki nama ilmiah, dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai “bunga bisik”, karena konon hanya mekar saat malam bulan purnama.
Penemuan ini membuat Bulangan Barat kini masuk radar lembaga konservasi internasional, bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk dipelajari dan dilindungi.
Keterlibatan Masyarakat Lokal: Penjaga Tak Bernama
Penelitian di Bulangan Barat memiliki pendekatan yang berbeda. Alih-alih datang sebagai “penemu”, para peneliti justru bertindak sebagai pendengar. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan hidup bersama warga lokal, belajar bagaimana masyarakat berinteraksi dengan alam.
Salah satu tokoh kunci adalah Pak Dasi, seorang tetua adat yang sudah berumur 73 tahun. Ia mengenal suara burung dari jarak ratusan meter, tahu musim jamur hutan tanpa kalender, dan bisa membedakan 17 jenis serangga dari bentuk kepaknya.
Ilmu pengetahuan lokal seperti ini tidak bisa didapat dari buku. Itulah sebabnya, penelitian di Bulangan Barat menjelma menjadi simbiosis antara ilmu modern dan kearifan lokal.
Kendala dan Etika dalam Penelitian Alam Liar
Meneliti keanekaragaman hayati bukanlah pekerjaan yang mudah. Cuaca ekstrem, medan sulit, serta keberadaan hewan liar menjadi tantangan sehari-hari. Namun, yang paling berat justru adalah menjaga integritas data dan etika.
Peneliti harus berhati-hati agar kehadiran mereka tidak mengganggu ekosistem. Tidak ada spesies yang boleh dibawa keluar tanpa izin, tidak ada tanaman yang boleh diambil hanya untuk kepentingan koleksi.
Pendekatan ini membedakan penelitian di Bulangan Barat dengan proyek-proyek ilmiah lainnya. Di sini, alam bukanlah objek, tapi mitra yang harus dihargai.
Harapan Masa Depan: Dari Data Menjadi Aksi Nyata
Data yang dikumpulkan bukan hanya untuk disimpan di laboratorium. Tujuan akhirnya adalah konservasi. Tim peneliti bekerja sama dengan pemerintah kecamatan dan beberapa sekolah untuk menyusun kurikulum lokal bertema “Mengenal Alam Sekitar”.
Anak-anak desa diajak menjelajah hutan, mengenal nama-nama pohon, dan belajar bahwa dunia luar bisa seindah halaman belakang rumah mereka. Jika keanekaragaman hayati ingin diselamatkan, generasi muda harus jadi penjaga utamanya.
Selain itu, hasil penelitian juga disiapkan untuk menjadi dasar usulan kawasan konservasi berbasis masyarakat. Alih-alih hutan lindung yang dikendalikan pusat, masyarakat lokal akan menjadi pengelola dan penjaga utama kawasan tersebut.
Penutup: Bulangan Barat, Laboratorium Alam yang Tak Pernah Tidur
Di saat dunia sibuk membangun gedung pencakar langit dan mencari planet baru untuk dijelajahi, Bulangan Barat menunjukkan bahwa masih banyak keajaiban di bumi ini yang belum kita pahami sepenuhnya. Penelitian keanekaragaman hayati di wilayah ini bukan sekadar pencatatan spesies, tapi perjalanan spiritual dan ilmiah yang menghubungkan manusia dengan alam.
Ketika daun jatuh di hutan Bulangan Barat, barangkali tak terdengar oleh dunia. Tapi lewat penelitian ini, setiap desiran angin, kicauan burung, dan aroma bunga liar mulai membentuk cerita besar tentang alam yang selama ini memilih diam. Kini, waktunya kita mendengarkan.